PERESEAN (Sebuah Cerpen)


Foto : Yon Ilahi


Hari ini sangat terik, matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Awan-awan tebal masih bersembunyi, hanya segerombolan awan berarak tipis yang berani melintasi kota Yogyakarta yang semakin lama semakin padat penduduknya. Setiap tahunnya, banyak calon mahasiswa dari berbagai daerah yang datang untuk mencari universitas idaman mereka di Kota Gudeg ini. Banyak mahasiswa yang betah tinggal dan enggan untuk kembali, sehingga kota yang multikultural ini semakin lama bertambah sesak dan gerah.

            Siang itu, seorang laki-laki bertubuh agak gemuk dan memakai tas rangsel, baru saja keluar dari komplek masjid Agung Kauman, ia baru saja menunaikan ibadah sholat dhuhur berjamah di sana. Laki-laki itu bernama Abror, ia adalah seorang mahasiswa yang sudah bertahun-tahun menetap di kota Jogja. Abror berasal dari Pulau Lombok (NTB) yang mayoritas masyarakatnya bersuku Sasak. Abror sedang berjalan menuju sebuah angkringan yang tepat berada di sebelah barat alun-alun utara. Sebelum masuk ke dalam angkringan, ia melihat ada keramaian di tengah alun-alun tepat di depan Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat, Alun-alun Lor namanya. Sebelum mengetahui apa sebab kerumunan itu, ia langsung masuk ke dalam angkringan, karena cacing-cacing yang ada di perutnya sudah bergeliat sedari tadi karena kelaparan.

            Sambil menikmati sebungkus sego kucing berlauk tempe bacem dan sate usus, Abror bertanya kepada penjual angkringan perihal keramaian di salah satu bagian di alun-alun tersebut.
            “Pak, itu di tengah-tengah alun-alun ada acara apa ya, kok rame banget?”
            “Oh itu. Katanya orang-orang yang habis makan di sini tadi, di sana ada acaranya kebudayaan Lombok.”
            “Oh ya?!” Ia terkaget dikarenakan ia sendiri berasal dari pulau Lombok dan tidak mengetahui acara tersebut. Maklum Abror tidak mengetahui acara tersebut, dikarenakan dia jarang berkumpul dengan teman-teman sedaerahnya.
             “Iya mas, ada kayak pertarungan sabet-sabetannya juga katanya di situ.”
            “Wah, menarik itu pak. Kalau yang sabet-sabetan itu, peresean itu namanya.”
            “Berarti sakit ya kalau kena sabetan itu?”
            “Belum pernah coba pak, mungkin saya nanti mau nyoba permainan itu pak,”
            “Hati-hati lho mas.”
            “Iya pak, makasih.”

            Setelah percakapan itu, Abror tiba-tiba mempercepat makannya. Dua bungkus sego kucing, dua buah sate usus, satu tepe bacem, satu tahu bacem, serta segelas es teh manis dia habiskan. Setelah membayar kepada bapak pemilik angkringan itu, Abror langsung menuju keramaian di tengah alun-alun.
Setelah mendekat keramaian, ternyata benar dugaan Abror, disana tertulis Festival Peresean di sebuah sepanduk besar yang berkibar. Peresean adalah kebudayaan asli suku sasak, suku asli pulau Lombok. Peresean adalah sebuah pertarungan antara dua laki-laki dengan menggunakan senjata berupa sebilah rotan di tangan kanan dan tameng atau perisai kayu di tangan kiri. Orang yang bertarung disebut pepadu. Para pepadu menggunakan kain khas di bagian bawah dan bertelanjang dada, serta menggunakan sapu’ yang diikatkan di kepala. Seorang wasit akan memimpin peresean tesebut beserta dua orang panitia yang membimbing para pepadu.

            Abror sangat menyukai seni-budaya dan bela diri. Ia sangat antusias menonton acara festival peresean tersebut, apalagi peresean adalah produk seni-budaya dari daerahnya sendiri. Abror dari kecil sangat ingin mengikuti peresean, tetapi orang tuanya melarangnya mengikuti pertarungan tersebut, karena dianggap tak ada gunanya dan berbahaya bagi fisiknya. Sampai sekarang Abror masih memendam keinginannya untuk mengikuti pertarungan itu. Dalam hatinya ada semacam panggilan untuk bertarung dalam acara festival itu, tak perduli apapun hasilnya.

            Saat ini Abror sedang melihat pertarungan antara orang yang bertubuh agak pendek tetapi kekar dan orang bertubuh tinggi tetapi kurus. Pertarungan berlangsung sengit, keduanya saling serang. Para penonton bersorak-sorai karena disuguhi pertarungan yang aktraktif dan seru. Penonton sebelah kiri Abror mendukung pepadu yang bertubuh pendek, sedangkan penonton sebelah kanan Abror mendukung pepadu yang bertubuh tinggi. Akhirnya pepadu yang bertubuh tinggi berhasil menjungkalkan pepadu yang bertubuh kecil di babak yang terakhir, yaitu di babak ketiga.            

            “Bror!?” Tiba-tiba ada suara memanggil Abror dari belakang.
          “Eh Rus..!? lama kita tak jumpa, apa kabar?”  Ternyata Rusdi yang memanggilnya. Rusdi adalah teman akrabnya waktu SMP di pulau Lombok dahulu.
            “Baik Bror, makin gendut aja kamu. Kamu nerusin kuliah di sini ya?”
            “Iya nih, hehe.. iya, saya nerusin kuliah disini, kamu kuliah di sini juga ya Rus?”
            “yupz, saya juga nerusin kuliah disini Bror.”
            “Kamu jadi panitia ya Rus?” Abror melihat Rusdi menggunakan pakaian adat suku Sasak, memakai ID card, dan menggunakan kaos panitia Festival.
            “Yupz, kayaknya kamu tertarik ikut peresean ya Bror? Nanti aku carikan lawan yang sepadan dan aku kasih acara untuk melawannya.” Rusdi tahu kalau dari dulu Abror sangat suka dengan peresean.
            “Pingin sih, tapi aku belum ada persiapan Rus.”

            Kemudian Rusdi mencoba lagi meyakinkan dan merayu Abror agar mengikuti peresean dengan mengatakan bahwa orang laki-laki yang lahir di pulau Lombok harus mencoba peresean bila ia ingin disebut kesatria Sasak sejati dan ia siap memberi tahu cara untuk bertarung peresean. Tiba-tiba api semangat dalam hati Abror berkobar dan membara. Ia ingin sekali mencoba peresean tersebut. Rasa yang sedang ia rasakan itu bukanlah sekedar cinta dengan budaya tanah leluhurnya saja, tapi juga cara untuk mengekspresikan keinginannya yang telah lama terpendam.

            Setelah Abror setuju untuk mengikuti peresean, langkah selanjutnya adalah memilih lawan. Lawannya akan dipilihkan oleh panitia yang memegang rotan dan perisai. Bila tidak berani atau cocok, maka akan dipilihkan yang lain sampai ketemu lawan yang cocok dengan kriteria sang penantang dan sebaliknya juga. Abror pertama dipilihkan dengan lelaki bertubuh lebih gendut dan tinggi daripada dia, tapi Abror menolaknya karena menurutnya tidak sepadan dari segi berat dan tinggi. Akhirnya Abror setuju melawan lelaki berbadan agak kurus tetapi tinggi dan berkulit putih bersih, namanya Johan.

            Rusdi menceritakan kepada Abror bahwa Johan adalah salah satu pepadu yang sering mengikuti festival peresean dari remaja. Rusdi juga memberi tahu gaya pertarungan dan kelemahan Johan. Abror menyimak fokus apa yang dikatakan oleh Rusdi, khususnya cara untuk mengalahkan Johan. Abror bertelanjang dada. Sambil Rusdi meneruskan petuahnya, ia memasangkan kain tenun khas sasak di bagian bawah tubuh Abror dan memasangkan sapu’ di kepalanya.

            Abror sudah siap bertarung dengan rasa semangat yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
            “Kamu harus ingat apa yang aku nasehati tadi, saat ini aku hanya bisa mendo’akanmu dari belakang, semoga dirimu menang,” kata Rusdi ke Abror.
            “Terima kasih banyak kawan, akan kuingat apa yang kau nasehati tadi.” Lalu Abror langsung menuju arena pertandingan.

            Abror dan Johan dipanggil ke tengah lapangan oleh seorang wasit. Wasit itu bernama Ali. Ali memberitahukan kepada mereka peraturan dan hal-hal yang dilarang dalam pertandingan peresean itu. Sesudah itu, Ali menyuruh mereka kembali ke sisi arena yang telah ditunjuk. Abror di sisi utara, sedangkan Johan di sisi selatan. Kemudian mereka diberi sebatang rotan dan sebuah perisai dari kayu oleh panita yang mendampingi pepadu di sisi luar arena pertandingan.

            Abror dan Johan sudah bersiap-siap, Ali pun memberi aba-aba bahwa pertarungan sudah dimulai. Johan langsung menyerang Abror dengan menyabetkan rotan ke bagian tubuh bagian samping dan kepala Abror, Abror menangkis dengan perisainya. Tiba-tiba pertandingan diberhentikan sejenak, dikarenakan rotan Johan patah. Setalah Johan mengganti rotannya, pertandingan dilanjutkan kembali. Johan kembali mendesak Abror dengan pukulan cepatnya, Abror hanya berusaha bertahan dengan mencoba menyabetkan rotannya ke tubuh Johan. Terlalu asyik menyerang, tiba-tiba Johan terjatuh karena terpeleset. Kemudian Ali memberhentikan pertandingan dikarenakan babak pertama sudah selesai dan dimenangkan oleh Abror.

            Karena kekalahannya di babak pertama, di babak kedua Johan semakin ganas menyerang Abror. Abror yang sangat minim pengalaman sempat kewalahan dengan serangan Johan yang cepat dan bertubi-tubi. Abror hanya dapat bertahan menangkis agar tubuh depannya tidak terluka dan berusaha menyerang ketika ada celah. Punggung dan lengan kiri Abror menjadi bukti keganansan serangan Johan yang menimbukan bekas-bekas sabetan rotan berwarna merah pekat memanjang tak beraturan. Serangan bertubi-tubi itu akhirnya ditutupi dengan tersungkurnya Abror ke tanah. Ia jatuh karena kehilangan keseimbangan terhadap tubuhnya. Babak kedua dimenangkan oleh Johan.

Johan pun menari-nari dengan tarian adat sasak mengikuti alunan musik khas suku sasak. Peresean bukanlah hanya murni pertarungan, tetapi ada unsur seni dan budayanya. Dalam pertarungan yang memakai senjata dan tameng ini, pesertanya harus memakai pakaian khas adat dan selama pertandingan biasanya diiringi oleh musik khas suku Sasak yang disebut ciloka’. Tarian dalam pertarungan juga adalah hal yang harus ada dalam peresean.

Saat jeda, Rusdi mendekat ke arah Abror dan mengintruksikannya taktik selanjutnya.
“Sekarang kamu harus menyerang dia Bror, ini babak terakhir dan kamu harus memenangkannya.”
“Ya Rus, aku akan berusaha sekuat yang aku bisa.”

Babak terakhir telah dimulai, Abror mulai menyerang tubuh Johan dengan cepat, Johan terkaget dengan serangan cepat dari Abror itu. Johan pun tak tinggal diam, ia kembali menyerang. Saling serang dan saling tangkis di kedua belah pihak menimbulkan sorakan yang riuh dari pinggir lapangan karena pertarungan semakin seru dan berimbang. Johan menyabet lengan Abror, lalu Abror menyabet kepala Johan. Johan menyerang kepala Abror, tapi ia dengan cepat menangkisnya. Ketika rotan itu mendaratkan ke perisai Abror, rotan itu terlepas  dan terlempar dari tangan Johan. Pertandingan diberhentikan sejenak lagi.

Sebelum pertandingan dilanjutkan, Johan meraba kepalanya ternyata ada darah yang mengalir karena serangan dari Abror saat awal babak ketiga tadi. Ali yang melihat kejadian tersebut, langsung mengakhiri pertandingan itu. Dikarenakan bila salah satu dari pepadu mengeluarkan darah dari kepalanya, maka otomatis pepadu tersebut kalah. Secara otomatis pula Abror memenangkan pertandingan peresean tersebut. Setelah pertandingan berakhir, mereka langsung berpelukan. Tak ada amarah, tidak ada dendam.

Meskipun menang, banyak sabetan yang telah mengukir tubuh Abror di punggung dan di lengan kirinya. Panitia pun langsung menyuruhnya menuju petugas P3K yang sudah disiapkan oleh panitia. Saat itu yang bertugas adalah Tari dan Ucik. Mereka berdua adalah mahasiswi jurusan farmasi dan perawat asal pulau Lombok dan berkuliah universitas swasta terkenal di kota Jogja. Ucik mengobati luka Johan, sedangkan Abror diobati oleh Tari. Pada pandangan pertama, Abror tertarik pada paras Tari yang cantik jelita.

            “Wah kok banyak lukanya?” Tanya Tari kepada Abror, sambil mengobati luka-luka bekas sabetan di punggung dan lengan kiri Abror. 
            “Iya, maklum baru pertama ikut peresean. Awww..!” Jawab Abror dengan agak meringis kesakitan karena Tari sedang mengoleskan obat taradisional ke punggung dan lengan Abror.
            “Tahan ya, memang agak sakit, tapi cepat sembuh kok kalau pakai obat ini.”

            Setelah diobati dan berkenalan dengan Tari, entah kenapa Abror semakin tertarik dengannya. Akan tetapi, Abror adalah termasuk orang yang pemalu terhadap lawan jenis. Ia sulit untuk mengungkapkan rasa tertariknya kepada Tari. Kemudian Abror pergi ke tempat Rusdi berada, tepatnya di kerumunan para penonton yang masih menonton dan bersorak-sorai melihat pepadu selanjutnya bertarung.

            Langit yang tadinya cerah, tiba-tiba gelap. Awan tebal berwarna abu-abu pekat mulai datang serentak dari arah utara, tepatnya dari arah gunung Merapi. Tak lama kemudian, hujan turun dengan deras, sehingga membubarkan kerumunan orang di pinggir arena pertandingan. Wasit Ali terpaksa memberhentikan pertandingan dikarenakan hujan semakin lama semakin deras. Kemudian ketua panitia yang ternyata disandang oleh Rusdi, mengajak para penonton dan peserta peresean agar berteduh di dalam gedung yang aulanya lumayan besar yang sebelumnya sudah disewa oleh panitia festival.

            Di dalam aula tersebut; Abror, Tari, Rusdi, dan Ecik berkumpul bersama dalam satu gerombolan. Ternyata Ecik adalah pacar dari Rusdi. Sedangkan Tari masih menjomblo, ia belum mau pacaran dulu.
            “Kok langit yang cerah tadi tiba-tiba bisa mendung dan hujan ya?” Abror memulai pembicaraan.”
            “Dalam sejarah dan mitosnya, Peresean adalah media atau ritual untuk pemanggil hujan, apalagi kalau salah satu dari pepadu mengeluarkan darah dan menetes di tanah” Jawab Rusdi.
            “Dan kami juga sengaja menyewa aula ini juga karena mengantisipasi hujan datang, walaupun  bulan ini masih masuk musim kemarau.” Timbal Tari pula.
            “O gitu. Berarti hampir sama seperti Ojung di daerah Madura ya?”
            “ya, hampir sama dengan acara Ojung di daratan Madura. Akan tapi, ada beberapa hal yang membedakannya. Salah satunya di daerah Lombok peresean adalah suatu termasuk kompetisi yang resmi dan menjadi seni-budaya orang Suku Sasak.”
            “Eh dari tadi kamu melirik ke Tari terus, kamu naksir ya ma Tari? Cie..” Ucik tiba-tiba menyeploskan pertanyaan ke Abror dengan entengnya.

            Abror yang ketahuan mencuri-curi pandang ke Tari hanya tersipu malu. Ia diam tanpa kata, ia bingung mau menjawab pertanyaan Ucik yang menohok telak dirinya. Rusdi hanya tersenyum melihat perlakuan Abror itu, kurang lebih dia tau sifat Abror yang sangat pemalu bila ketahuan menyukai seorang cewek. Meskipun ia berhasil memenangkan petarungan fisik, tapi tetap saja Abror takluk di hadapan cewek pujaannya. (AKF)

Comments