KONSEP FANA', BAQA', DAN HULUL


BAB I
PENDAHULUAN


Tasawuf adalah merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak yang mulia.[1]

Berbicara tentang Sufi atau dunia tasawuf tidak lepas dari kontroversi dan pandangan yang berbeda, ada yang menolak jalan pemikiran tasawwuf, dan juga ada yang menerimanya, karena itu bersumber dari Nabi dan Sahabat, namun ada juga yang dengan tegas mengharamkan ajaran ini,  dan mengangap sebagai bid’ah karena bertentangan dengan nilai dan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Banyak Ulama’ yang memberi komentar perihal Tasawuf antara lain :

Al-Junaid tokoh ilmi tasawuf yang mengatakan : Bahwa semua Tarekat (tasawuf) itu tidak akan berhasil, jika tidak dilakukan sepanjang ajaran Nabi, yang merupakan sumber Tarekat”.[2]

Prof. Hamka dalam bukunya Perkembangan Tasaawwuf dari abad ke abad telah mengambil kesimpulan : bahwa Tasawuf islam sudah ada sejak timbulnya agama Islam itu sendiri yang dimanifestasikan oleh Sosok Nabi yang mulia, NabI Muhammad SAW.

Islam adalah agama yang sangat gental mengajarkan nilai-nilai keadilan dan keseimbangan hidup,[3] karena pada dasarnya Tuhan menciptakan Manusia ini tidak lepas dari unsur Jasmani dan Rohani. Memang banyak hadis dan Ayat al-Quran yang juga menjelaskan Fadhilah dan keutamaan Akhirat dari pada dunia, namun hemat penulis, bahwa Akhirat itu tidak terlepas dari dua unsur tersebut, sehingga tidak tepat kalau kita mengatakan, bahwa akhirat ini identik dengan Hati, Rahani dan hal-hal yang berhubungan dengan dimensi Spritual.

Dalam dunia Tasawuf, permasalahan seputar perjalanan rohani memiliki variasi, walapun tujuannya sama yaitu menghambakan dirinya untuk Allah SWT, kalau Sosok Rabi’ah al-Adawiyah terkenal dengan konsep Mahbbahnya, maka kesempatan ini kami akan mengajak teman-teman untuk mengarungi perjalanan spiritual dua tokoh yang sangat masyhur dalam dunia Tasawuf, mereka adalah Abu Yazid al-Bisthami dan Al-Halaj dan konsep yang mereka tawarkan.

Terlepas dari adanya anggapan bahwa jalan yang ditempuh oleh dua tokoh tersebut adalah sesat, maka kami akan mencoba mengulas dan memahami lebih detail lagi tentang konsep-konsep yang ditawarkan oleh dua tokoh tersebut. Ini dikarenakan adanya dugaan bahwa ada sesuatu dibalik justifakasi sesat terhadap dua tokoh tersebut tanpa mendalami subtansi dari ajaran tesebut. Kita bisa melihat, bagaiman kontroversi ajaran Syekh siti Jenar yang dianggap sesat bahkan dia adalah kafir, namun banyak komentar positif yang diberikan kepadanya setelah mendalami betul apa makna yang terdalam dibalik ajaran tersebut. Lali bagaimana dengan konsep Fana’, Baqa’ dan Ittihad Abu Yazid al-Bustami dan Hulul al-Halaj, apakah konsep konsep tersebut menyimpang dari ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Maka sebelum berbicara dan munjustifikasi jalan keshufian dari dua tokoh tersebut maka kami akan membahasnya dalam makalah yang sederhana ini, kami akan mencoba mengarungi konsep-konsep dari dua tokoh tersebut diatas, yaitu :

  1. Konsep Fana, Baqa, dan Ittihad Abu Yazid al-Bustami
  2. Konsep Hulul Al-Halaj
  3. Tanggapan Ulama’ tentang konsep-konsep tersebut

Alhasil, mari kita diskusikan dua permasalahan di atas, dengan membahas step by step permasalahan sehingga memperjelas kita dan sekaligus memperkaya pengetahuan kita tentang Dunia Tasawuf.


BAB II
PEMBAHASAN

A.                Biografi Abu Yazid al-Bustami dan Al-Hallaj
1.                  Setting Sosio-Historis Abu Yazid al-Bustami dan perjalanan Spritualnya
Abu Yazid al-Bustami adalah seorang Shufi termuka abad III Hijriyah. ia disebut sebagai sufi yng memperkenalkan tentang konsep al-Fana’, al-Baqa’, dan al-Ittihad  dalam dunia tasawwuf yang akan kami bahas pada bab selanjutnya.[4]

                        Nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Is bin Syurusan al-Bustmi. Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H/814 M di Bustam, bagian Timur laut Persia. Di Bustam ini juga ia meninggal yaitu tepatnya pada tahun 261 H/875 M, dan makamnya masih ada hingga saat ini. Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota, menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri, Nasari Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M didirikan di atasnya sebuah kubah yang indah oleh seorang sulton mongol, Muhammad Khudabanda atas nasihat gurunya yang bernama Syekh Syafruddin, salah satu seorang keturunan dari Bustam[5]

Berbeda dengan sufi-sufi lainnya, Abu Yazid al-Bustami adalah orang Persia asli. Kakeknya Syurusan pada mulanya adalah penganut Zoroaster, yang kemudian memeluk Islam. Ayahnya termasuk pemuka masyarakat di Bustam, dan ibunya adalah seorang yang taat dan bersifat zuhud, 2 orang saudarnya Ali dan Adam juga termasuk sufi yang banyak pengalaman, meskipun tidak terkenal seperi Yazid.[6]

Nama kecil beliau adalah Thaifur.[7] Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum shufi seluruhnya, setiap shufi memiliki konsep yang berbeda tentang suatu hal berkaitan dengan jalan menghambakan diri kepada Tuhan, dalam makalah sebelumnya dibahas, bahwa Mahabbah adalah cinta kepada Allah yang menempati puncak dari seluruh maqam spiritual  dan menduduki derajat atau level yang sangat tinggi, namun berbeda dengan Abu Yazid yang memaknai Mahabbah dengan melepaskan apa yang diperoleh kekasih, meskipun ia sedikit.

Hal yang menarik dari sosok  Bustami adalah sebagaiman yang diambil dari biografi sufi karya al-Sulami dan al-Qusyairi, mereka mengatakan bahwa sosok al-Bustami memiliki karakter yng unik, terutama dalam perhatiannya yang mendalam untuk mempertahankan syariat dan menjadikan sunnah melebihi yang Fardhu.    
            Tidak bisa dipungkiri, bahwa pengaruh Fiqih yang dia pelajari dari Madzhab Hanafi telah sedikit berpengaruh terhadap perjalanan menuju alam Sufi. Ilmu agama yang pertama di pelajari adalah ilmu fiqih, sehingga dia dikelompokkan sebagai Ashaburra’yi, suatu aliran yang memberikan kapasitas besar terhadap akal dalam mengambil hukum islam (ijtihad).[8]

Dia juga perna mengatakan, bahwa kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu olehnya, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti suruhan dan menghentikan juga menjaga batas-batas Syariat.[9]

Seperti halnya yang terjadi dalam fenomena mistik di Indonesia, banyak orang sakti dan hebat, dan anehnya mereka mendapat tempat yang istimewah tanpa melihat bagaimana agamanya, maka wajar ada yang mengatakan, jangan percaya sebelum engkau lihat shalatnya.

Abu Yazid berusaha, agar orang yang ingin menjalani dunia Tasawwuf, tetap menjalankan Syariat sebagaimana yang dijarkan oleh Rasulullh SAW, inilah yang dinamakan dengan Tarikat, yaitu mengikuti jalan dan petunjuk Nabi, Sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan sampai guru-guru. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa seorang wali harus tetap berpegang teguh dan melaksanakan syariat agar tetap melestarikan tingkat pengalaman spiritual yang telah dicapainya.

Pengalamannya tentang fana diperolehnya dari Abu ali al-Sindi, seorang yang berasal dari India, sebagai imbalan atas tauhid yang diajarkan abu Yazid kepadanya. Pengalaman yang terutama perkataan beliau yang susah ditangkap oleh mereka yang awam, membuat sosok abu Yazid mendapatkan perlwanan dari ulama’-ulama lain, walaupun dia berhsil mengkombinasikan antara fiqih dn tasawuf, namun dari perjalalannya dia mempunyai aksetisme yang keras, sehingga ia dimasukkan dalam daftar kelompok Malamatiyat , yaitu suatu kelompok yang memilki kecenderungan pada kalangan sufi yang bersikap merendahkan diri, menghinakn, serta mencercahnya dalam rangkah memurnikan pendekatan dan hubunganya dengan Tuhan, Abu yazid perna ditanya, Bagaimana carannya memperoleh Makrifat? “………………dengan perut kosong dan pakaian yang compang camping. Ada yang mengatakan bahwa faham fana dipengaruhi oleh ajaran India.[10]

Kalau kita amati dari perjalanan hidup dia, dari sebagai orang yang rajin mengkaji ilmu fiqih, kemudia masuk ke dunia tasawwuf, kemudian berusaha mengkombinasikan dua hal tersebut, ternyata abu Yazid masih cenderung kepada gaya sufi lama yang  bersikap cenderung kepada hal-hal yang bersifat rahani, dan melupakan dunia.

Dalam makalah ini, kami tidak akan membahas jauh tentnag tokoh, karena pembahasan ini adalah bersifat tematik, yaitu yang berkaitan erat dengan konsep Fana’Baqa, dan Ittihad,

2.    Setting Sosio-Historis al-Halaj dan perjalanan Spritualnya
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mugis al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawai, nama yang panjang tersebut lebih dekenal dengan panggilan al-Hallaj. Ia lahir pada tahun 244 H/ 858 di Tur, salah satu desa dekat Baida di Persia. Neneknya, Muhammad adalah seorang penyembah api, pemeluk agama Majusi sebelum ia masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa al-Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah Saw.[11]

Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan orang-orang sufi terkenal. Pada umur 16 tahun dia sudah berguru kepada Sahl bin Abdullah al-Tusturi, salah seorang tokoh Shufi terkenal abab ketiga Hijriyah. Tetapi setelah dua tahun belajar kepadanya ia pergi ke Bagdad.

Pengembaraan mencari Ilmu, membuat dia betemu dengan ahli-ahli Shufi, sehingga terbentuklah dalam dirinya pandangan hidup sendiri sehingga usia 53 tahun, dank arena pandangannya yang berbeda tentang paham tasawufnya, maka ia perna menjadi pembicaraan ulama pada waktu itu.

Sebagai mana Abu Yazid, maka al-Hallaj tidak lepas dar kontroversi seputar ajaranya yang banyak bertentangan dengan ahli fiqih, bahka seorang ahli fiqih terkenal Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa sesat kepadanya, sehingga harus dibayar dengan menghuni di sel penjara, namun ia dapat melarikan diri dengan bantuan penjaga yang simpati kepadanya.

Namun dalam pelariannya itu, ia tertangkap dan dipenjarakan hingga lahir keputusan untuk mengeskusi mati dia dengan dicambuk, dipenggal, dan dibakar. Hal ini mengingatkan kita kepada tokoh Shufi Indonesia Syekh jenar, walaupun proses kematiannya masih mengalami Kontroversi.

Salah satu penyebab, kematianya adalah ketika dia selalu mengulang-ulang kalimat Ana al-Haqq (aku adalah yang maha benar). Dan ketika dimintak bersyahadat dia berteriak seraya berseru kepada Allah : ” Sesunguhnya wujud Allah itu jelas, tidak membutuhkan penguat semacam syahadat, kalimat tersebut juga perna diucapkan oleh al-Syibli. Dan di era kontemporer ini ada yang mengatakan bahwa Tuhan tidak perlu dibela karena yang butuh adalah Makhluk dan bukan Khalik.

Hal yang menarik dalam proses pembunuhannya adalah, bahwa dia masih bias tersenyum walaupun tangannya dan bagian tubuhnya dipotong, bahkan ia berisyarat seakan-akan ia berdoa untuk mengampuni dosa pembunuhnya. Inilah yang menimbulkan simpati para pengikutnya dan bahkan ia dikultuskan.

Berkaitan dengan setting Historis dan perjalanan Shufi nya. Kami tidak ingin memaparkan dengan lengkap karena focus kajian kami dalam makalah ini adalah tentang Tema Hulul bukan studi tokoh, dan model penelitian ini kami ambil dari model penelitian Tasawwuf ala Hamka.

B.                 Pengertian Fana’, Baqa dan Ittihad
Fana’  berasal dari bahasa arab yang asal katanya adalah Fana- yafna- fana yang artinya hilang, hancur.[12]
Di dalam kitab Ar-Risalh al-Qusyairi  dikatakan, bahwa Fana adalah [13]

1.      Fana adalah lenyapnya indrawi/ kebasyirian, Maka siapa-siapa yng telah diliputi hakekat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada Alam baharu, Alam rup, dan alam dari makhluk dan baqalah ke dalam baqanya Allah tanpa Hulul

2.      Fana, berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat bathin). Bahwa fana’ itu, ialah lenyapnya segala-galanya, baik itu sifat mapun perbuatan dan lenyap dirinya. Karena lenyapnya semua itu, maka yang tinggal , Ialah baqanya Allah. Dan memang semestinya begitulah, sesuai kata ahli Tasawwuf :
إذا أشرق نور البقاء فيفنى من لم يكن ويبقى من لم يزل
               “ Apabilah nampak Nur kebaqa’an, maka Fanalah yang tiada dan baqalah yang kekal.
Dalam pada ini, Ahli Tasawwuf berkata :
التصرف : فانون عن أنفسهم باقون بربهم بحضور قلوبهم مع الله
“ Tasawwuf itu adalah mereka fana’ dari dirinya dan baqa’ denga Tuhannya karena kehadiran mereka bersama Allah.

            Untuk lebih memahami ungkpan tadi, maka akan kami berikan mistal atau perumpaan tentan fana yaitu :  dengan firman Allah SWT kepada Musa. “kamu tidak dapat melihat aku”. Artinya, sesungguhny kamu Musa, selama kamu ada pada dirimu, maka aku Allah tiada daripadamu Musa. Dan pada ketika kamu musa melihat aku, maka engkaupun ketika itu kamu tiada”. Tidaklah mungkin bagi yang baru tetap adanya ketika nampaknya yng qadim. Jadi pengertianny : mak dengan fananya musa, jadilah hamba bersifat tida., Dan baqalah Allah yang bersifat kekal.

             Dalam kitab Insanul Kamil diterangkan bahwa fana adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hasan Annury :
“ Selama mas dua puluh tahun, aku merasa diantara ada dan tiada. Jika aku berada pada tuhanku, maka aku tiadalah pada diriku. Dan jika aku berada pada diriku, maka tiadalah aku pada Tuhanku.”

            Fana yang dicari oleh orang-orang shufi adalah penghancuran diri , yaitu yang berhubungan dengan perasaan atau kesadaran atas tubuh kasar. Dalam kitab Arrisalah karya al-Qusyairi dikatakan :[14]
bahwa fananya seseorng dari dirinya dan dari makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lainya ada, akn tetapi tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.”

C.     Konsep al-Fana’, al-Baqa’, dan al-Ittihad Abu Yazid al-Bustami
Setiap Shufi memiliki kekhususuan sendiri dalam melakukan pengalaman spritualnya, walaupun subtansinya sama yaitu ingin dekat dengan tuhan. Sosok abu Yazid tidak dapat dipisahkan dengan paham Fana, sebagaimana Fana tidak dapat dipisahkan dengan baqa, dan keduanya jug tidak dapat dipisahkan dengan konsep Ittihad atau faham Ittihad Sebagai ajaran Abu Yazid. Dalam ajaran Ittihad sebagai salah satu metode Tasawwuf, Menurut A.R. al-Badawy : ” yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya ada dua wujud dan yang dirsakan hanya satu wujud, maka dalam Ittihad bias terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai atau antara shufi dan Tuhan.

Dalam situais seperti ini seorang shufi telah bersatu dengan Tuhan, suatu sehingg salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata Hai aku.

Kejadian seperti ini banyak kita temukan dalam ungkapan-ungkapan yang diujarkan oleh Abu Yazid seperti ketika ia berkata, ”aku bukan lagi sebagai ucapan dari diri abu Yazid, tetapi sebagai ucapan Allah.”

Karena Abu Yazid bersatu dengan diri Allah, sehingga ketiaka dia mengatkan aku, maka sebetulny dia sedang berbicara melalui lidah tuhan.[15]

            Sebagai contoh Abu Yazid perna berkata :
سبحاني , سبحاني , ما أعظم شأني
            Di lain hal dia juga perna mengatakan :
سبحاني ما في الجنة غير الله
                       

Berkaitan dengan fana’ , kita dapat mengetahui beberapa konsep Fana melalui beberapa ujaran Abu Yazid, yaitu ketika dia mengatakan inni Fanaitu wa inni hayaitu lebih jelany dia mengatakan “ bahwa aku mengenl Tuhanku melalui diriku sehingga aku hancur, kemudian aku kenal padanya memalui dirinya sehingga aku hidup.

Fana pada awalnya lahir dari mimpi, pada suatu malam abu Yazid bermimpi bertemu dengan Tuhan dan bertanya kepadanya “Tuhanku, Apa jalannya untuk sampai kepadamu? Tuhan menjawab, tinggalkan dirimu dan datanglah. Bagi Yazi yang dimaksud dengan tinggalkan dirimu adalah, lupakan dirimu,lebur dirimu, kosongkan dirimu, dan hancurkan dirimu, itu adalah jalan engkau akan sampai kepadaku.

            Ungkapan yang sangat sederhana, namun mengandung makna yang dalam sekali, seakan-akan ia mengatakan bahwa untuk mengenal dan dekat dengan tuhan maka jalanku adalah dengan melebur diriku, menghancurkan segala keinginan nafsuku, dari ungkapan sederhana tersebut, setidaknya kita mengetahui dua hal dari konsep fana ala Abu Yazid yaitu :
1.      Pengenalan tuhan melalui diri abu Yazid
2.      Pengenalan Tuhan memalui diri Tuhan

Poin pertama adalah hal yang biasa, karena setiap manusia memang ditintut untuk mengenal dirinya dalam rangka mengenal tuhannya, dalam surat al-Rahman dijelaskan “ bahwa tuhan telah menciptkan manusia dari tanah seperti tembikar”, ini bukan suatu berita yang mengandung informasi kepada mereka yang belum mendapat informasi, namu ini adalah bahasa sindiran bagi manusia yang lupa akan penciptaannya.

      Dalam dunia Tasawuf ada dua cara mengenal atau menemukan  Tuhan, yaitu :
1.      Mulazimatu adz-dzikri,  yaitu satu cara mengenal tuhan dengan cara melakukan dzikir terus-menerus kepada Allah
2.      al-mukhalafah, suatu cara menemukan tuhan dengan terus-menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat melupakan tuhan.

setiap sufi memiliki cara masing-masing untuk dekat dengan tuhannya, ada beberapa metode untuk bersatu dengan tuhan antara lain :
1.      Hulul,  yang akan kami bahas selanjutnya, faham ini mengtakan bahwa Tuhan menjelma ke dalam Insan, Keinsananku tenggelam ke dalam ketuhananku, tetapi tidak mungkin bercampur, sebab ketuhananmu itu senantiasa menguasai akn keinsananku
2.      Ittihad,  (tuhan dan Hamba berpadu menjadi satu), sebagaimana abu Yazid perna berkata, ”kamu lihat engkau maka engkaulah itu dan aku tidak ada di sana”.
3.      wihdatul wujud, kami tidak menjelaskan konsep ini, karena kan dibahas oleh pemakala selanjutnya.

`untuk memperjelas tentang konsep Fana’ ,  maka kita dapat mendapatinya lewat ungkpan yang dia sampaikan :
suatu ketika, dia mengangkatku ke atas, menempatkanku di hadapannya, dan berkata kepadaku, ” Wahai abu Yazid, mekhlukku senang mencarimu”.
“ Aku berkata, “ Hiasi aku dengan Wahdaniyyatmu, Pakaikanlh aku dengan Ananniyahmu, dan angkat aku ke Ahadiyatmu, hingga ketika makhlukmu melihatmu melihatku, mereka berkata, “kami telah melihatmu, dan engkau akan menjadi hal itu dan aku tidak akan ada di sana.

            dalam ungkapan di atas, seorang sufi bernama al-Sarraj, mengatakan , ´Bahwa abu Yazid telah dekat dengan al-Haqq, tapi dia belum sampai mencapainya. Menurut pendapat kelompok yang dikenal sebagai kelompok pencari salah (al-Muta’annitu),  bahwa pemahaman yang ditawarkan oleh al-Jaaraj adalah sebuah pembelaan dia terhadap konsep fana dan Ittihadnya abu Yazid al-Bustami.

            Mengenai perkataan Hiasilah aku dengan Wahdaniyyatmu dan seterusnya merupakan gambaran Fana’nya, Fana’nya dari fana’, dan pengambilalihan dirinya oleh al-Haqq dalam Wahdaniyyah dengan tanpa makhluk di hadapannya dan tanpa makhluk yang diciptakan.

            Banyak ungkapan-ungkapan dari sosok abu Yazid yang menggiring kita kepada pemahaman konsep fana, baqa dan Ittihadnya, antara lain :
“ tidak ada tuhan melainkan saya, sembahlah saya, amt sucilah saya, alangkah besar kuasaku”

D.    Konsep Hulul al-Hallaj
Para ulama maupun sarjana berbeda pendapat tentnag hakikat ajaran Hulul al-Hallaj ini. At-Taftazani telah berusaha menampilkan beberapa pendapat tentanh hal tersebut. Di dalam kesimpulannya, dia mengatakan bahwa Hululnya al-Hallaj itu bermakna Majazi, tidak dalam pengertian yang sesungguhnya (Hakikat) . Ada beberapa pendapat yang akan kami paparkan untuk memahami ontologism konsep al-Hulul, antara lain :[16]

1.      Irfan ‘Abd al-Hamid Fattah berpendapat, bahwa paham kesatuan wujud telah mulai tampak sejak hadir Abu Yazid al-Bustami dengan paham Ittihadnya
2.      AL-Taftatazani,  berpendapat, bahwa paham al-hulul adalah perkembangan dan bentuk lain dari paham Ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid
3.      Hulul,  sebagaimana yang kami paparkan ketika membahas Konsep Fana abu Yazid adalah bahwa Tuhan menjelmah ke dalam Insan, Keinsananku tenggelam ke dalam ketuhananku, tetapi tidak mungkin bercampur, sebab ketuhananmu itu senantiasa menguasai akn keinsananku.

Menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar, yaitu Sifat ketuhanan (Lahut) dan sifat kemanusian (nasut). Demikian pula manusia juga memiliki dua sifat tersebut.
Sebagai salah satu argumentasi keberasdaan dua sifat tersebut adalah tafsir QS. Al-Baqarah ayat 34  : [17]
øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyŠKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4n1r& uŽy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ
34.  Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.

[36]  sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, Karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.

            Menurut al-Hallaj, Allah memberian perintah kepada manusia untuk bersjud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana dia mnjelma (Hulul) dalam diri Isa a.s.. Paham ini meyakini, bahwa adanya jelmaan Tuhan pada diri manusia, tidak hanya Quna yang dijakan sebagai bangunan ajarannya ini, bahkan hadis nabi yang mengatakan, bahwa “ sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuknya.”

         Untuh lebih mendalami paham ini, kami akan berikan sebuah Syair :
“maha suci zat yang menyatakan Nasutnya
Dengan lahutnya, yang cerlang seiiring bersama
Lalu dalam Makhluknya pun tampak nyata
Bagai si peminum serta si pemakan tampak sosoknya
HIngga semua makhluknya melihatnya
Bagai bertemunya dua kelopak mata

         Hemat penulis, bahwa paham ini jelas-jelas mengakui adanya sifat nasut pada diri tuhan, dan ada sifat lahut pada diri manusia, sehingga ada kemungkinan tuhan dan manusia menyatu, dan persatuan itu mengambil bentuk Hulul.

         Sebagaimana faham ittihadnya Abu Yazid al-Bustami yang tidak lepas dari fana’, maka untuk bersatu dengan Tuhan Manusia harus menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan melalu Fana’ , jadi Fana adalah jalan atau metode yang harus dilalu oleh seseorang unutk sampai kepada Ittihad dan Hulul.


E.     Tanggapan-tanggapan tentang Fana,Baqa dan Ittihad abu Yazid dan Hulul al-Hallaj
Sahabat nabi yang paling sering memperkenalkn tentang Fana’ adalah Sayyidina Al- bin Abi Thalib r.a.
Beliau berkata :
وفي فنائ فنا فنائ, وفي فنائ و جدت أنت
Dan di dalam leburku/fanaku, leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefananku itulah bahkan aku mendapatkan engkau tuhan.

Demikianlah fana ditanggapi oleh para sufi secara baik, bakhan ada yng mengatakan bahwa fana itu merupakan kunci dan pintu masuk menemukan Allah. Dalam sebuah ayat al-quran dijelaskan :
فمن كان يوجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا
Artinya : barang siapa yang ingin akan menemukan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amaln shaleh dan ajnganlah ia mempersekutuhkan siapapun dalam beribdat kepada Tuhan.

Untuk mencapai liqa dengan Allah, maka kita dapat mengambil ayat diats sebagai tolak ukur dan cara mendapatkan tjun tersebutyaitu :
1.      Mengerjakan amal shaleh, dengan menghilagkan semua sifat-sifat yang tercelah dan menetapkan sifat-sifat yang terpuji, yakni Takhalli dan Tahalli
2.      meniadakan atau menafikan segala sesuatu yang termasuk dirinya sehingga yang ada hanya Allah semata-mata dalm beribadat, itulah artinya menfanakan dirinya.

Sebaliknya bagi mereka yng sudah bersikap skeptis dengan dunia tasawwuf yang identik dengan hal-hal yng tidak masuk akal, bhkan diluar pengetahuan manusia secara umum, maka merek akan menertwakan tentang konsep-konsep dalam dunia tasawwuf seperti Fana, Baqa, dan ittihad, akibat dari perbuatan ini adalah, adanya anggapan bahwa tariqat dan tasawwuf bukan dari Nabi Saw.

          Islam adalah agama yang mengandung tiga ajaran dasar, Tauhid yang dibahas dalam bidng Ushuluddi, Syariat yang dibahasa dalam Fiqih dan terkhir dalah Akhlak yang dibahas dalam ilmu Tasawwuf.

          Setiap orang berusaha menjadi muslim sejati, maka dia harus meyakini kebenaran tuhan yang tertuang dalam rukun iman, namun hal tersebut belum bisa mendekatkan dirinya pada Tuhan, maka dia harus menjalankan kuwajiban-kuwajiban kepada yang dia yakini dan ini tertuang dalam rukun Islam, tidak berhenti di situ, bahwa untuk mendapatkan hakikat dari suatu ibadah, maka puncak dari ibadah adalah ihsan yang itu dapat diraih dengan Tasawwuf

Ihsan adalah puncak tertinggi hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan itu dapat diraih dengan jalan Tasawwuf, karena meakini dan hanya menjalankan Syariat tuhan tidak cukup menjadikan seorang hamba itu menjadi al-Mahbubdan kombinasi dari ketiga unsur tadi termanifestasikan dalan diri Nabi Muhammad SAW.

            Bantahan dan cacian banyak dilontarkan oleh Kalangan Fuqaha, ini dikarenakan ada pendirian kuat dari seorang sufi yaitu :
Niat lebih didahulukan daripada amal
Sunnat lebih dipentingkan daripada Fardhu
Taat lebi utama daripada ibadat
Kaum fiqhi beramal menurut ukuran yang ditentukan oleh hadis.

            Namun, disamping cercaan dan bantahan, dan bahkan justifikasi sesat dilontarkan oleh mereka, khususunya yang mencari kesalahan dari sosok Shufi, ada sebagian yang membela beberapa ungkpan indah Shufi antara lain :
1.      Al-Sarraj, yang membela Abu Yazid dengan mengatakan, bahwa Ittihad yang dilakukan oleh abu yazid belum sampai kepada al-Haqq, artinya, bahwa dia sepakat adanya paham ittihad, namun untuk sedikit meredakan tanggapan negative dari kalanngan fuqaha.
2.      al-Junaid, yang banyak memuji bagi al-bustami, khsusnya yang berkaitan dengan perkataan ekstatiknya, dan melakukan kritik terhadap para pencari kesalahAn dari ungkapa-ungkapan Syathiyyat abu Yazid.


BAB III
PENUTUP

Dari beberapa pembahasan tentang konsep Fana, Baqa,dan Ittihad Abu yazid al-Bustami, dan juga konsep al-Hulul al-Hallaj kami dapat menyimpulkan bahwa :

  1. Bahwa Fana adalah satu cara yang dilakukan oleh seseorang yang ingin mengenal dan menyatu dengan tuhan.
  2. bahwa tujuan dari Fana adalah untuk mendapatkan Kebaqaan dan Ittihad dengan Tuhan
  3. Bahwa Hulul adalah jalan atau metode yang dilakukan oleh al-Hallaj dalam rangka menyatukan sifat Nasut yang ada pada manusia ke dalam sifat lahut pada Tuhan, dalam diri manusia ada dua sifat Nasut dan Lahut, begitu juga dalam diri Tuhan, disinilah manusia harus berusaha agar dua unsur dasar tadi menyatu
  4. berkenaan dengan tanggapan Ulama’terhadap konsep-konsep tersebut, maka masih menjadi Kontroversi, khususnya dikalangan Fuqaha dan Shufi


                                                            Daftar Pustaka

- Abuddin Nata,  Metodologi studi Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006) hal 283
- Mustafa Zahri, Kunci memahami ilmu tasawwuf ( Surabaya : PT. Bina Ilmu, ). hal.45. tt
- Tafsir surat al-Rahman ayat 7-10
- Departemen Agama , Ensiklopedi Islam di Indonesia (19992/1993)
- Asmaran AS, Pengantar Tasawwuf  ( Jakarta : PT. Raja  Grafindo Persada, 1994),hal. 288

- Hamka, TAsawwuf, pekembangan dan pemurniannya, ( Jakarta : PT. Pustaka panjimas, 1993) , hal. 93           
- Kamus munjid, Beirut
- Software CD-Rom, al-Quran Word 2003


[1] Abuddin Nata,  Metodologi studi Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006) hal 283
[2] Mustafa Zahri, Kunci memahami ilmu tasawwuf ( Surabaya : PT. Bina Ilmu, ). hal.45. tt
[3] Baca tafsir surat al-Rahman ayat 7-10
[4] Departemen Agama , Ensiklopedi Islam di Indonesia (19992/1993)
[5] Asmaran AS, Pengantar Tasawwuf  ( Jakarta : PT. Raja  Grafindo Persada, 1994),hal. 288
[6] Ensiklopedi Islam di Indonesia
[7] Hamka, TAsawwuf, pekembangan dan pemurniannya, ( Jakarta : PT. Pustaka panjimas, 1993) , hal. 93
              
[8] Lihat Ensiklopedi islam di Indonesia oleh Departemen Agama 1992/1993
[9] Lihat Tasawwuf perkembangan dan pemurniaanya oleh Hamka hal.93-94
[10] Pernyataan ini dilontarkan oleh dua Orientalis : .A Nicholson dan Hellmut Ritter
[11] Baca Pengantar  Studi Tasawwuf oleh Drs, Asmaran AS hal. 304
[12] Kamus munjid, Beirut
[13] Kunci memahami Ilmu Tasawwuf hal. 234
[14] Ibid. hal.234-244
[15] Ilmu tasawuf hal 234-237
[16] Pengantar Studi Tasawwuf hal 309
[17] Software CD-Rom, al-Quran Word 2003
Makalah Muhammad Zubad, UIN SUKA, Jogjakarta, 2009.

Comments